Ketika Nabi Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon
kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya
ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang guru, yakni bersabar
menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu
yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.
Dalam Alquran dibahasakan Nabi Musa menaruh harapan besar...
untuk diterima menjadi murid, Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66).
Lalu sang guru menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi: 67).
Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon
guru yang baru dijumpainya mengerti kalau dia tidak sanggup untuk
bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, kamu akan mendapati aku
sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).
Akhirnya Musa diterima sebagai
murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa dari gurunya
ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS.
Al-Kahfi: 70).
Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak
jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai
sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Musa, yaitu melubangi
perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa spontan menyatakan
keberatannya, “Mengapa kamu melobangi perahu itu, yang akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu
kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).
Pertanyaan Musa yang
walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, namun sang
guru menganggap sikap batin yang mendorong Musa mengeluarkan pertanyaan
dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh
ilmu ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran,
“Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sabar bersama dengan aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).
Menyadari
kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru,
Musa memohon maaf kepada gurunya, “Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan
dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).
Apa yang dialami Musa
mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan
Tuhan untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam dari jenis
manusia.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Menanggapi
tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon
ampun terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Baqarah: 32).
Seandainya Musa menyadari dan belajar apa
ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari
gurunya. Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia
besar yang terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan (lihat
artikel penciptaan mikrokosmos edisi lalu).
Permohonan sang
murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua
terjadi bagi Musa ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil
sedang bermain dan gurunya tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di
antaranya.
Alangkah kagetnya Musa dan spontan memprotes dan
menyatakan penyesalan perbuatan gurunya dengan mengatakan, “Mengapa kamu
bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi:
74).
Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang
sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak
akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).
Musa berusaha
untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya
dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah
(kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya
kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya,
sang guru mengizinkan Musa mengikutinya.
Perjalanan keduanya
dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Musa mulai melihat keraguan
di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah
ia tidak salah pilih guru.
Keduanya akhirnya berhenti di sebuah
reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun
reruntuhan gedung ini. Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan
harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian
lama Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.
Alangkah
kagetnya Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang
guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Musa akhirnya bertanya
untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini
setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.
Mendengarkan
pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan
muridnya. Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh
selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.
Namun sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan
penjelasan kepada muridnya. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan
orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan
bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas
tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79).
Sedangkan, pembunuhan
anak kecil dijelaskan. “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).”
(QS. Al-Kahfi: 81).
Penjelasan terakhir mengenai pemugaran
bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang
anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu
menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan
mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”
(QS. Al-Kahfi: 82).
Nabi Musa hanya bisa tercengang sesaat
setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya Nabi Musa sadar bahwa
pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan yang dilakukan
dengan cara-cara pengajaran konvensional.
Belajar kearifan
ternyata tidak mesti membutuhkan media yang lengkap. Pelajaran kearifan
itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya
napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling
sejati. Selamat belajar.
ya Allah
aku disini terbujur kaku
merintih merasakan kelakuanku yang kadang aku sesali
tapi aku tak tahu dosa itu selalu aku lakukan
ingin sekali aku menghindar tapi imanku tak begitu kuat
kadang aku marah dengan kelakuan ku ini ya Allah
sesungguhnya engkau lebih tahu tentang diriku
ya Allah ku
jauhkanlah hambamu dari semua kelakuan ini
... jangan kau dekatkan hamba dengan setan penghasut
hamba ingin selalu bersamamu
selalu dalam lindunganmu
selalu berbuat baik
menjadi orang yang bermanfaat
Ya Allah
sungguh aku menyesali semua ini
tapi kenapa hamba selalu melakukannya lagi
hanya kau yang tahu tentang apa yang ku lakukan
dan hanya kau yang bisa membuatku tidak melakukan lagi
jauhkanlah aku dari kelakuan ini ya Allah
sesungguhnya engkau maha pengasih lagi maha penyayang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar